Turonggo Dharmo Mudo: Menjaga Napas Kesenian Jaranan di Desa Pulerejo

Di tengah hamparan ladang dan jalanan desa yang masih sejuk dengan rimbun pepohonan, Desa Pulerejo di Kecamatan Bakung, Kabupaten Blitar, menyimpan denyut kebudayaan yang tidak lekang oleh waktu. Di tengah arus modernisasi, kesenian tradisional tetap tumbuh dan hidup di antara warga. Salah satunya adalah kesenian jaranan atau kuda lumping, yang di Pulerejo diwujudkan melalui kelompok kesenian bernama Turonggo Dharmo Mudo. Di desa ini, jaranan bukan sekadar hiburan, tetapi juga simbol gotong royong, kebersamaan, dan penghormatan terhadap warisan leluhur.

Kesenian jaranan, atau sering disebut kuda lumping, adalah salah satu warisan budaya Jawa yang hingga kini masih memukau siapa saja yang menyaksikannya. Bukan sekadar tarian biasa, jaranan selalu diiringi unsur magis, ritual, hingga atraksi yang memacu adrenalin, seperti atraksi kesurupan, makan beling, atau berjalan di atas bara api. Di Pulerejo, jaranan tidak hanya hadir sebagai tontonan hiburan pada hajatan, tetapi juga menjadi simbol kebersamaan dan kebanggaan bersama.

Turonggo Dharmo Mudo dibentuk pada tahun 2024 atas inisiatif tokoh-tokoh kesenian di Desa Pulerejo, khusunya di Dusun Gledug dan Dusun Kalipucung. Sebelum Turonggo Dharmo Mudo hadir, Desa Pulerejo sebenarnya telah memiliki tradisi kesenian rakyat yang tak kalah megah, yakni Reog. Dulunya, Reog menjadi salah satu tontonan utama warga Pulerejo di berbagai hajatan. Namun, seiring berjalannya waktu, kesenian Reog perlahan meredup. Beberapa faktor seperti kurangnya regenerasi, keterbatasan biaya perawatan kostum dan perlengkapan, hingga semakin minimnya dukungan membuat pertunjukan Reog di Pulerejo berhenti tampil satu per satu.

Kesadaran akan pentingnya menjaga semangat berkesenian membuat sejumlah tokoh desa bersama para pemuda mulai memikirkan alternatif kesenian yang tetap selaras dengan budaya lokal namun lebih mudah dikembangkan di tengah keterbatasan. Maka pada tahun 2024, lahirlah gagasan untuk membentuk grup jaranan yang diberi nama Turonggo Dharmo Mudo. Diharapkan, melalui jaranan, semangat gotong royong, nilai-nilai tradisi, dan kebanggaan budaya desa bisa dihidupkan kembali. Dengan peralatan yang lebih sederhana daripada Reog namun tetap sarat makna magis dan estetika, jaranan dianggap lebih mudah mengundang minat anak muda untuk terlibat aktif.

Setiap minggunya, halaman rumah pengurus kesenian Turonggo Dharmo Mudo berubah menjadi ruang latihan. Anak-anak usia sekolah dasar tampak antusias belajar gerakan dasar, sementara remaja mulai mencoba adegan trance di bawah bimbingan penari senior. Tabuhan gamelan menggema, membangkitkan semangat dan kebanggaan kolektif. Kegiatan latihan tak hanya membentuk fisik penari, tetapi juga memupuk kebersamaan lintas generasi. Dalam setiap pementasan, Turonggo Dharmo Mudo kerap diundang tampil di hajatan pernikahan, khitanan, dan berbagai acara besar lainnya. Dari pentas ke pentas, rasa bangga dan percaya diri warga pun terjaga. Setiap penampilan selalu disambut antusiasme warga yang berkumpul, dari anak-anak hingga orang tua, yang rela duduk lesehan di halaman rumah atau lapangan desa.

Di balik semangat yang membara, tentu saja ada tantangan yang tidak kecil. Peralatan gamelan yang sudah tua membutuhkan perawatan rutin, sementara biaya untuk kostum baru juga tidak sedikit. Honor pentas seringkali tidak sebanding dengan biaya perawatan. Namun, di sinilah peran gotong royong masih terasa. Pemerintah desa memang belum sepenuhnya bisa membantu secara dana besar, tetapi dukungan moril menjadi bentuk perhatian nyata.

Bagi generasi muda, menjadi bagian dari Turonggo Dharmo Mudo bukan sekadar tampil menari, tetapi juga menimba keberanian, disiplin, dan rasa cinta pada budaya sendiri. Warga Pulerejo pun sadar, jika tidak dijaga bersama-sama, maka kesenian ini bisa punah ditelan zaman. Semua ini membuktikan, kesenian tradisional bukan hanya sekadar peninggalan masa lalu. Ia adalah nafas yang menghidupkan kebersamaan dan mempererat identitas masyarakat di tengah zaman serba digital. Turonggo Dharmo Mudo berdiri sebagai saksi bahwa di pelosok Blitar, masih ada generasi muda yang bangga menari dengan kuda lumping, menantang gemerlap lampu panggung sambil tetap memeluk nilai-nilai budaya warisan leluhur.

Melalui artikel ini, kita diingatkan bahwa pelestarian budaya tidak melulu membutuhkan teknologi canggih atau dana besar. Ia tumbuh dari rasa cinta, dukungan bersama, dan tekad agar anak cucu kelak masih bisa mendengar dentang gamelan jaranan. Turonggo Dharmo Mudo adalah bukti bahwa gotong royong dan semangat muda bisa menjadi penunggang nilai luhur, tepat seperti arti namanya.